Jun 6, 2012

At a glance

Dalam beberapa detik saja, air mineral dalam botol ia tenggak habis. Untuk kesekian kalinya, pria berkacamata itu melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. 18.59.

Sambil menatap orang yang lalu lalang di depannya, tangan kirinya meraih ponsel yang sedari tadi tergeletak manis diantara botol-botol kosong diatas meja. Jam digital berhias awan di layar ponselnya menunjukkan waktu yang tak jauh berbeda. 19.05

Hari ini, setelah sekian lama tak berkunjung. Ia kembali kedai kopi di ujung jalan yang tak terlalu ramai dikunjungi orang ini. Tak heran, harga secangkir kopi disini hampir setara dengan jatah makan hariannya. Baginya, secangkir kopi berteman dengan beberapa botol air mineral bukanlah hal yang aneh. Terlebih, jantungnya juga sudah tak kuat menahan gempuran kafein.

Gelisah, karena yang ditunggunya tak juga muncul. Gelisah, karena gempuran kafein mulai menunjukkan pengaruhnya. 19.13

Pintu terbuka. Tergagap ia segera berpaling dari koran yang sedari tadi dibaca, entah sudah berapa kali. Yang ditunggunya muncul. Sepasang kekasih berdandan rapih, memasuki kedai kopi, saling bergandengan tangan, senyum tak lepas dari wajah mereka.

Diburu waktu, tangan gemetarnya merogoh kantong celana. Gemetar karena kafein dan tak lagi cekatan karena usia. Secarik kertas kumal yang terlipat rapih ditariknya. Sambil bergegas meninggalkan kedai, diberikannya kertas itu kepada sang pria yang belum juga melepaskan tangan dari kekasihnya. Teriakan heran mereka tak lagi jelas didengarnya karena keriuhan lalu lintas dan pendengaran yang mulai berkurang.

19.15. Diantara kilat lampu ambulans, sepasang kekasih duduk di seberang kedai kopi. Masih bergandengan tangan namun gemetar, dan tak lagi rapih. Berpuluh-puluh orang lalu lalang dan riuh pertanyaan polisi tak mereka hiraukan. Perih di beberapa bagian tubuh juga tak menarik perhatian mereka. Seorang pengemudi mabuk meluluhlantakkan kedai kopi yang seharusnya menjadi tempat mereka berbincang. Secarik kertas ada di tangan gemetar si wanita, lusuh dan basah oleh keringat  : "Tinggalkan kedai ini, sekarang juga"

---

Sekarang ia berdiri di belakang sepasang kekasih yang duduk bergandengan tangan, gemetar dan tak lagi rapih. Sinar biru yang berpendar dari tubuhnya tersamar oleh kilatan cahaya lampu mobil polisi. Tugasnya selesai. Ia tersenyum, bersiap kembali ke masanya.

Berpuluh tahun lalu, sebuah sedan berkecepatan tinggi menghantam sebuah kedai kopi di ujung jalan. Hanya ia yang selamat.

Feb 9, 2012

The Sound of Solitude that stays in My Playlist

I fall in love with this song since the first time. Unfortunately, the file name was only Track 03 if i'm not mistaken. #sigh
What makes me fall in love is that the lyrics, the music, the voice gives me the feeling : This is so me :p

Out of my curiosity, I tried to search the Internet to find any information about this song, only using parts of the lyrics. Well, it wasn't easy to find the singer nor get the title based on the keywords (at that time, the internet connection was limited), and finally, based on my friend's guessing, I renamed the file : 311.

---
It was somewhere in September 2010 when I decided to start another singer-title searching over the Internet.
I opened one of the searching engine, typed the first line of the song, and...voila, what a great result, the singer and the title of the song appeared in the searching results. Surprisingly, it was on a site where people put their design, not on the site that provides information about music..it was just awesome :D

Yeah, finally, I found the singer of one of my favorite songs : Myslovitz, a Polish band with the title Sound of Solitude

---
Here comes the lyrics :

Myslovitz - Sound of Solitude


And even left alone one day
Ain't gonna change, it's not my world
Before me there's a road I know
The one I chose myself to go

Yeah, perfect forever, always clever
Should I be and I should feel
Super cool but then I am a fool
But then it's not me

And even left alone one day
Ain't gonna change, it's not my world
Before me there's a road I know
The one I chose myself to go

See, I like the evenings
Like to get hidden for quite some time
And yet, I like against my nature with ostentation
To stay alone, climb to a tree top
And keep looking skyward
No sensation, but I know that right here
For another time
Can't be who I wanna be

And even left alone one day
Ain't gonna change, it's not my world
Before me there's a road I know
The one I chose myself to go

Nights, some nights I awake to
Go out though I hate it
Look at this chemical world
Smelling like grayness, like paper love sadness
With you and me and someone else
Don't know who, wants to be
For several years
With obsession and with ostentation
Left alone a while I've seen that guy

And even left alone one day
Ain't gonna change, it's not my world
Before me there's a road I know
The one I chose myself to go

Feb 2, 2012

Please be seated

Membaca sebuah kalimat yang ditulis oleh seorang teman, ingatan saya melayang pada satu periode waktu ketika saya rutin melakukan perjalanan Semarang-Salatiga, Salatiga-Semarang.
Bukan, saya bukan pengemudi atau kondektur bus antar kota, saya hanyalah salah satu penumpang yang setia menggunakan jasa mereka.

Selama menjadi penumpang setia bus jurusan Semarang-Solo ini (walaupun saya berhenti di Salatiga, tepat di tengah rute bus) ada beberapa kejadian yang benar2 membuat saya bersyukur atas apa yang saya miliki sekarang.

Let me share one of the stories...

***

Dari sekian banyak perusahaan bus yang melayani trayek Semarang-Solo PP, pilihan saya hampir pasti jatuh pada bus patas (apapun PO-nya). Alasannya sederhana, bus patas memiliki seat 2-2 dan AC yang mendukung saya untuk tidur selama perjalanan dan ya, tanpa asap rokok :D

Memang ongkos yang dikeluarkan lebih mahal daripada ongkos bus non-AC, namun saya rasa itu sepadan dengan kenyamanan yang didapat.

Beberapa kali saya temui, orang tua dan anak-anaknya yang juga menggunakan bus jenis ini (terutama musim liburan). Entah dengan pertimbangan biaya atau kepraktisan (bukan karena terbatasnya kapasitas tempat duduk bus), sering kali mereka memutuskan untuk memangku anak-anak mereka. Well, kalau anak usia balita sih masih bisa diterima dengan akal sehat. Tapi kalau memangku anak usia 7-8 tahun? Semarang-Solo? Can u imagine?

Dan karena merasa iba, penumpang yang duduk di sebelah orang tua (yang memangku) anaknya tadi pasti akan menyisihkan sedikit ruang bagi mereka (dengan ikhlas atau dengan terpaksa, hanya mereka dan Tuhan yang tahu)

Dari sudut pandang saya, apa bedanya dengan naik bus bumel kalau sama-sama duduk gak nyaman...

Mungkin saya memang agak egois, namun saya coba melihat dengan cara saya sendiri. Apakah bijak, hanya dengan dalih biaya atau kepraktisan kita mengorbankan kenyamanan orang lain? Tidak bertimbang rasa pada penumpang yang bersedia mengeluarkan sejumlah biaya ekstra demi kenyamanan yang seharusnya mereka dapat? Bukankah masih ada piliha moda transportasi dengan biaya yang lebih murah?

***
Saya tidak dilahirkan di keluarga yang kaya secara materi, naik moda transportasi jenis apapun pernah saya coba. Namun sejauh yang saya ingat, orang tua saya selalu memberi contoh praktis yang dapat saya aplikasikan di kehidupan saya, salah satunya : saya selalu mendapat tempat duduk saya sendiri dengan membayar tiket sesuai ketentuan, bahkan sejak saya masih duduk di bangku TK. Saya masih ingat argumentasi Mama dengan kondektur ketika bus daam kondisi penuh dan kondektur meminta Mama untuk memangku saya.

Well, saran saya, pilih moda transportasi sesuai kemampuan dan rencanakan perjalanan dengan baik. Dengan demikian, secara tidak langsung kita akan merespek orang lain, mengurangi resiko membuat mereka tidak nyaman